Adakah
aku di hatimu?
Kau benar-benar datang. Setelah hampir
dua tahun kita tak bertemu. Sesekali, kita mengobrol dari balik gagang telepon
atau hanya saling menyapa dengan pesan singkat. Seperti biasa, aku menikmati
hal ini ketika tanganku mendingin dan degup jantungku mencepat. Hampir dua jam
kita duduk dan hanya beberapa kalimat saja yang mampu terucap. Entahlah. Lama
tak bertemu membuatku canggung. Sekalipun bertemu, toh keadaannya sudah
berbeda.
“Apa kabar?”, kalimat pertama yang kau
tujukan untukku.
“Adakah aku di hatimu?”
“Gimana kuliahmu?”, kalimat keduamu.
Aku menghela napas dalam-dalam. Berusaha meredam rasa sakit yang tiba-tiba
menikam.
“Adakah aku di hatimu?”
Kau hanya diam.
Dan aku ulangi. "Adakah aku di
hatimu?".
"Cukup!!!", kalimat
terakhirmu. Semakin sesak. Sekuat tenaga, aku menahan bulir-bulir agar tidak
tumpah dari ujung kelopakku.
Kenapa kamu menyiksaku dengan cara
seperti ini? Tidakkah kamu sadar ketika mataku berpura-pura tegar dan berusaha
menyembunyikan airmata didepanmu? Walaupun pada akhirnya, aku menyesal bertemu
denganmu kali ini. Ketika satu per satu yang kamu sembunyikan terkuak. Aku
benci menyebut namanya. Aku benci ketika mendengar kamu mengakuinya.
Mungkin benar atas apa yang aku dengar dari orang-orang bahwa cinta itu
terkadang berwujud mengikhlaskan dan membiarkan pergi.
Kali ini aku tidak akan banyak bicara.
Aku juga tidak akan mencacimu. Aku hanya ingin menangis dan bersandar di
pundakmu. Memastikan bahwa aku akan baik-baik saja tanpamu. Memastikan bahwa
aku akan baik-baik saja atas apa yang sudah kamu lakukan dengannya. Lalu,
pergilah dan bahagiakan dia. Luka ini biar menjadi urusanku.
Malam sunyi, ku impikanmu. Ku lukiskan
kita bersama. Namun tak henti aku bertanya. Adakah aku di hatimu?