Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Sehangat Serabi Solo

"Serabi niki pinten,Mbah?"


"Setunggal ewu mawon, cah ayu"


"Kalih nggih,Mbah.Emm rosonipun nangka kemawon"


"Oh nggih. Tenggo sekedap cah ayu"


Tak ada yang beda siang ini. Solo selalu terik. Pasar Klewer selalu ramai, riuh. Tapi aku menyukainya. Menyukai setiap sudut Pasar Klewer ini. Menyukai pedagang-pedagang disini yang sangat ramah dan njawani.Aku dilahirkan di Solo, dan tentunya tahu betul sejarah Pasar Klewer ini. Dulu, Pasar Klewer berfungsi sebagai tempat pemberhentian kereta. Masyarakat Solo pun memanfaatkannya untuk berjualan berbagai macam produk kepada penumpang kereta. Hingga akhirnya terkenal dengan nama Pasar Slompretan.Ya! Sompret yang artinya terompet. Karena suara kereta.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jingga di Ujung Senja

Lembayung jingga menggelayut di ufuk barat.
Kilaunya yang  merah keemasan begitu mempesona.
Sore itu langit begitu sempurna, mentari yang mulai meredup dan perlahan kembali ke singgasananya mampu memikat semua hati yang sedang memandangnyaa. Damai…sedamai suasana sore ini.

Aku termangu di tepi sungai Musi, menikmati lukisan Tuhan. Dan hanya ditemani sekarung rongsok hasil buruanku seharian. Sebut saja aku kotor, bau, kumal, atau apapun semaumu. Aku tak peduli. Karena yang aku tau, setiap hari Tuhan memberiku hadiah berupa senja. Senja yang selalu menawan.

"Dapat banyak hari ini?"

"Da'pulo. Cuma sekarung botol air mineral. Idak ado besi hari ini"

"Da'apo. Yang penting awak cobo berejo"

"Iyo", jawabku singkat. Diam.

"Kenapo awak tu?"

"Kecele"

"Kecele?"

"Iyo. Awak punya hidup da' pernah beruntung. Awak cobo berejo, seharian berburu rongsok. Tapi hasilnyo?"

"Da' boleh ngeluh. Manjangin tali kolor bae!"
 
"Tapi kehidupanku? aku hanya tukang rongsok. Mengais-ngais sampah. 
Mencari sesuap nasi dari sampah.
Dan penghasilanku hanya cukup buat makan sehari. 
Buat makan besok? ya harus ngerongsok lagi"
 
"Hey, da' ilok ngomong gitu!", seru Jidar sembari menepuk pundakku.
 

Aku hanya tersenyum. Tak berkata apa-apa. Kelu. 
 

"Ayo awak ke langgar. Udah adzan maghrib. Tapi awak bersih-bersih dulu awak punya badan tu!"
 

Aku hanya mengangguk.
 

Kau tau? 
Dulu aku sempat mengira kalau jingga hanya sampah yang mengotori langit di kala senja.
Tak berguna. Sama sepertiku.
Tapi aku sadar, Tak sepantasnya aku memarahi Tuhan atas apa yang aku alami.
Bangkrut dari usaha, ditinggal istri dan kedua anakku, dan aku sekarang hanya jadi tukang rongsok.
Tapi aku yakin ini hanya secuil penderitaan dari besarnya kebahagiaan.
Kebahagiaan dari Tuhan. Kebahagiaan yang hakiki. 
Bukan kebahagiaan yang aku rasakan dulu.
Kebahagiaan yang aku curi dari hak orang lain.
Dan aku pun tersadar, jingga bukan sampah yang mengotori langit di kala senja.
Jingga ada sebagai pelengkap, pemanis.
Sama seperti peluh, airmata, kecewa, marah, ada sebagai pelengkap.
Ada sebagai pemanis. Karena Tuhan menyiapkan itu semua sebagai soal ujianNya. 
Karena Tuhan hanya menginginkan kita naik kelas dimataNya. 
Dan pada akhirnya nanti, kita dapat merasakan apa itu 'manis' yang hakiki.
 
 
 
 
Da'pulo : Gak juga.
Idak ado : Gak ada.
Da'apo : Tidak apa-apa.
Awak cobo berejo : Kau sudah berusaha.
Kecele : Kecewa.
Manjangin tali kolor bae : Percuma.
Da' ilok : Gak baik.
Langgar : Musholla.
 
 


 
 
 
 
 
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pagi Kuning Keemasan

Pagi.

#507

"This innocent briliant, i hope that it will stay"
ddrrtt...ddrrtt..
"This moment is perfect, please don't go away"
ddrrtt... ddrrtt...

Nyanyian Smartphone menyapa pagi pertamaku di Pulau Lengkuas, Belitung. Aku meraihnya dan mendekatkan gagangnya ke telingaku.

"Aku tunggu di bibir pantai, sekarang", tanpa melihat layar, aku pun tau siapa pemilik suara dibalik Smartphone ini.

Aku bergegas mengenakan brown cardigan dan melangkahkan kaki menuju bibir pantai. Sengaja aku tak mengenakan alas kaki dan membiarkan telapakku bercengkrama dengan butiran-butiran kecil berwarna putih yang lembut nan cantik. Sesekali sepoi pagi menggoda ujung rambutku dan mengajaknya menari.
Silhouette sempurna seorang lelaki yang sedang berdiri di bibir pantai semakin jelas tertangkap retinaku. Aku spontan memeluknya dari arah belakang. Sembari memejamkan mata dan sungguh aku merasa nyaman. Nyaman sekali.

Lelaki itu meraih tanganku yang melingkar di pinggangnya kemudian dia berbalik ke arahku. Dia tersenyum dan mendaratkan kecupan mesra di keningku.

"Selamat pagi, Sayang. Aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu, my dearest wife"


Kuning.

#511

"Mbokyo dicari yang bener tho, Nduk!"

"Udah, Mah. Tapi tetep gak ketemu"

"Coba dicari di ranselnya Mas Galang, siapa tau waktu packing kemarin keselip disana"

"Di ranselnya Mas Galang? yaopo disana? isi ranselnya paling pol juga kamera"

Aku jamah setiap sudut villa 511, bongkar koper, ransel, ini itu dan hasilnya nihil! Sial!
Seingatku, udah aku masukin koper kemarin waktu packing.
Hhhh, mana bisa tidur aku nanti malam! Terserah deh mau dikatain anak TK atau apa. Yang jelas aku gak bisa tidur tanpa itu!

Aku lesehan dan bersandar di kaki sofa. Rasanya percuma liburan jauh-jauh dari Solo sampe ke Pulau Lengkuas ini kalo gak bisa tidur. Gak bisa tidur? Ya! gak bisa tidur tanpa itu! 13 tahun tidurku selalu ditemani itu, entahlah aku sendiri pun heran.

"Adek cantik, kenapa manyun?" goda Mas Galang lengkap dengan senyum nyinyirnya.

"Bodo!" ujarku ketus. "Eh opo iku, Mas?", tanyaku sambil mencoba meraih benda yang dia sembunyikan dibalik punggungya.

"Idih, apapan? mana?"

"Ahhh, Mas Galang", ucapku manja.

"Nih!"

"Kuning!!!", teriakku sambil mendekap Kuning. Boneka anak ayam hadiah dari Almarhum Papa, yang beliau berikan disaat perayaan ulang tahunku yang kelima.


Keemasan.

#514

"Cek lagi jangan sampe ada yang ketinggalan"

"Ahh bawel banget sih lo!"

"Yeee. Udah syukur gue masih mau ngingetin lo"

Pagi ini, pagi terakhir di Pulau Lengkuas. Setelah 3 hari kami ; aku dan sahabat baikku Vero kabur dari hiruk pikuk Jakarta dan deadline yang gak ada abisnya.

"Gak kerasa udah tiga hari, tambah sehari lagi boleh?"

"Gila ajah! duit gue udah abis, Fa! salah lo sendiri ngajakin gue liburan sejauh ini. Gue kan udah bilang cukup di Karimun Jawa ajah gak papa. Nah elo nyulik gue sampe ke Belitung"

"Hahaha tapi gak nyesel kan?"

"Emmm, iya sih. Untung tempatnya bagus banget. Kalo gak, lo yang gue suruh bayar semua akomodasi selama kita disini"

"Idih, enak aja lo ngomong gitu", manyun.

"Ya ampun, Fa gitu ajah ngambek. Gue becanda kali!", ujar Vero sembari menjulurkan lidahnya, menggodaku.

"Udah yuk ah! nanti kita ketinggalan pesawat"

"Udah siap bertemu Jakarta lagi? Let's!"

Kami pun bergegas meninggalkan Pulau Lengkuas ke pusat kota Belitung dengan boat sembari menikmati pagi kuning keemasan yang mempesona. So Wonderfull!














  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menunggu Lampu Hijau

"Kamu mau mengajakku kemana?"

"Hunting"

"Hunting lagi?"

"Iya! kemana lagi kalo gak hunting?"

"Pacaran sajo sama kamera!", gerutuku.

Dia spontan meraih tanganku, mengajakku bergegas. Sedangkan, tangan kanannya menenteng tripod. Ransel kamera pun sudah bertengger kokoh di punggungnya. Sejenak, dia memandangku dan tersenyum kecil. Lagi-lagi senyum itu yang membuatku kalah. Selalu seperti ini. Menemaninya hunting foto ke semua tempat yang dia mau. Menghabiskan waktu berdua. Ya! berdua. Dia dengan kameranya, aku dengan.....ah sudahlah!

"Mau hunting kemana?"

"Jam Gadang"

"Jam Gadang lagi?"

"Memangnya kenapa? udah lama kan kita gak kesana?"

"Hmmmmm", manyun.

Lima belas menit perjalanan dari rumahku menuju Jam Gadang terasa sangat lama. Mungkin karena aku terpaksa menemaninya. Lebih tepatnya sangat terpaksa. Bete kalo udah diduain sama kamera, batinku.

Jam Gadang salah satu maskot wisata di Bukit Tinggi yang selalu ramai dikunjungi pengunjung, tak terkecuali sore ini. Walaupun cuacanya sedikit absurd, dengan langit yang berwarna abu-abu. Rasanya pengin nyuri crayon birunya anak TK terus nyorat-nyoret langit. Biar cakepan dikit.

Aku berjalan di belakangnya, mengikuti jejaknya. Jemarinya sudah sibuk memainkan ujung knop lensa.  Membidik apa saja yang tertangkap oleh sembilan titik di layar object.

"Kamu keliling-keliling sendiri yah. Aku mau duduk disini ajah", kataku lirih dan bersandar di bangku beton.

Dia sama sekali tak menghiraukan ucapanku, sepertinya terlalu sibuk bercumbu dengan kamera. Aku memandangi lelaki itu dari jauh, dia Arnoldy. Sudah empat tahun kita bersama. Menjadi pacar fotografer memang begini. Bisa dibilang kalo aku pacar keduanya. Pacar pertamanya? tentu saja kamera. Tapi entahlah, aku mencintainya. Tanpa perlu alasan.

"Kak, ini ada titipan", tiba-tiba seorang gadis kecil menghampiriku. Dia menunjukkan foto seorang perempuan. Aku sepertinya mengenal sosok di foto itu. Ya benar saja, itu aku!, spontan aku mengerutan alisku.

"Adek dapat darimana foto ini?", selidikku.

Tanpa jawaban, dia langsung lari dan ketika aku mau mengejarnya, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Ibu-ibu cantik menyapaku dengan senyuman dan menunjukanku sebuah foto. Untuk kedua kalinya aku mengerutka alisku.

"Ibu dapat darimana foto ini?", tanyaku benar-benar menyelidik.

Jawaban yang sama dengan gadis kecil tadi. Hanya senyuman. Aku semakin bingung. Tak lama, orang ketiga datang dan juga menunjukkanku foto kepadaku. Dan lagi-lagi itu fotoku. Sama seperti itu hingga orang ke dua puluh dua.

Aku kembali duduk ke bangku beton dan mengamati satu per satu foto itu. Rasanya aku tak pernah berpose seperti ini, aku bahkan benar-benar tidak ingat aku pernah difoto seperti ini.

Arnoldy mengusap rambutku, dan sontak membuyarkan lamunanku. Dia tersenyum manis dan menunjukkanku sebuah foto. Benar saja, perempuan di foto itu adalah aku.

"Jadi ini ulahmu?"

"Kamu gak suka?"

"Gak lucu!"

"Kenapa masih ketus gitu sih?"

"Salahmu sendiri daritadi nyuekin aku. Udah sanah jeprat-jepret ajah sesukamu. Gak usah meduliin aku lagi"

Dia mengambil tempat disebelahku dan merangkul bahuku dari samping.

"Coba balik foto ke dua puluh tiga"

"Foto ke dua puluh tiga?"

"Foto terakhir yang barusan aku kasih ke kamu, Sayang"

Aku pun membalik foto yang Arnoldy beri. "Will You Marry Me?", tulisan yang benar-benar aku kenal siapa pemiliknya, Arnoldy.

"Tunggu lampu hijau dari orang tuaku, ya! hahahaha"



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Social Icons

twitter facebook

Social Icons

Featured Posts