Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Menunggu Lampu Hijau

"Kamu mau mengajakku kemana?"

"Hunting"

"Hunting lagi?"

"Iya! kemana lagi kalo gak hunting?"

"Pacaran sajo sama kamera!", gerutuku.

Dia spontan meraih tanganku, mengajakku bergegas. Sedangkan, tangan kanannya menenteng tripod. Ransel kamera pun sudah bertengger kokoh di punggungnya. Sejenak, dia memandangku dan tersenyum kecil. Lagi-lagi senyum itu yang membuatku kalah. Selalu seperti ini. Menemaninya hunting foto ke semua tempat yang dia mau. Menghabiskan waktu berdua. Ya! berdua. Dia dengan kameranya, aku dengan.....ah sudahlah!

"Mau hunting kemana?"

"Jam Gadang"

"Jam Gadang lagi?"

"Memangnya kenapa? udah lama kan kita gak kesana?"

"Hmmmmm", manyun.

Lima belas menit perjalanan dari rumahku menuju Jam Gadang terasa sangat lama. Mungkin karena aku terpaksa menemaninya. Lebih tepatnya sangat terpaksa. Bete kalo udah diduain sama kamera, batinku.

Jam Gadang salah satu maskot wisata di Bukit Tinggi yang selalu ramai dikunjungi pengunjung, tak terkecuali sore ini. Walaupun cuacanya sedikit absurd, dengan langit yang berwarna abu-abu. Rasanya pengin nyuri crayon birunya anak TK terus nyorat-nyoret langit. Biar cakepan dikit.

Aku berjalan di belakangnya, mengikuti jejaknya. Jemarinya sudah sibuk memainkan ujung knop lensa.  Membidik apa saja yang tertangkap oleh sembilan titik di layar object.

"Kamu keliling-keliling sendiri yah. Aku mau duduk disini ajah", kataku lirih dan bersandar di bangku beton.

Dia sama sekali tak menghiraukan ucapanku, sepertinya terlalu sibuk bercumbu dengan kamera. Aku memandangi lelaki itu dari jauh, dia Arnoldy. Sudah empat tahun kita bersama. Menjadi pacar fotografer memang begini. Bisa dibilang kalo aku pacar keduanya. Pacar pertamanya? tentu saja kamera. Tapi entahlah, aku mencintainya. Tanpa perlu alasan.

"Kak, ini ada titipan", tiba-tiba seorang gadis kecil menghampiriku. Dia menunjukkan foto seorang perempuan. Aku sepertinya mengenal sosok di foto itu. Ya benar saja, itu aku!, spontan aku mengerutan alisku.

"Adek dapat darimana foto ini?", selidikku.

Tanpa jawaban, dia langsung lari dan ketika aku mau mengejarnya, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Ibu-ibu cantik menyapaku dengan senyuman dan menunjukanku sebuah foto. Untuk kedua kalinya aku mengerutka alisku.

"Ibu dapat darimana foto ini?", tanyaku benar-benar menyelidik.

Jawaban yang sama dengan gadis kecil tadi. Hanya senyuman. Aku semakin bingung. Tak lama, orang ketiga datang dan juga menunjukkanku foto kepadaku. Dan lagi-lagi itu fotoku. Sama seperti itu hingga orang ke dua puluh dua.

Aku kembali duduk ke bangku beton dan mengamati satu per satu foto itu. Rasanya aku tak pernah berpose seperti ini, aku bahkan benar-benar tidak ingat aku pernah difoto seperti ini.

Arnoldy mengusap rambutku, dan sontak membuyarkan lamunanku. Dia tersenyum manis dan menunjukkanku sebuah foto. Benar saja, perempuan di foto itu adalah aku.

"Jadi ini ulahmu?"

"Kamu gak suka?"

"Gak lucu!"

"Kenapa masih ketus gitu sih?"

"Salahmu sendiri daritadi nyuekin aku. Udah sanah jeprat-jepret ajah sesukamu. Gak usah meduliin aku lagi"

Dia mengambil tempat disebelahku dan merangkul bahuku dari samping.

"Coba balik foto ke dua puluh tiga"

"Foto ke dua puluh tiga?"

"Foto terakhir yang barusan aku kasih ke kamu, Sayang"

Aku pun membalik foto yang Arnoldy beri. "Will You Marry Me?", tulisan yang benar-benar aku kenal siapa pemiliknya, Arnoldy.

"Tunggu lampu hijau dari orang tuaku, ya! hahahaha"



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 comments:

Ririn Hutagalung mengatakan...

haha, romantic :)

Unknown mengatakan...

hahahaha keren banget bisa dipraktekin nih :D

Posting Komentar

Social Icons

twitter facebook

Social Icons

Featured Posts