Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Cinta Itu menyembuhkan

Aku tengah sibuk membolak-balikan tubuh jenjangku didepan cermin. Merapikan long dress yang masih terlihat sedikit berantakan. Sebenarnya aku merasa aneh dengan penampilanku hari ini. Dress code dominan ungu berkolaborasi dengan chrochet abu-abu lengkap dengan pashmina salem yang terbalut rapi. Jauh berbeda dari biasanya. Jeans, hem, kets dan jilbab yang aku kenakan biasanya pun dengan model sesimple mungkin. Entahlah, aku hanya ingin tampak berbeda hari ini.

Pandanganku terarah ke smartphone yang tengah berbaring di ranjang. Aku mendekatinya lalu meraihnya. Aku memijat-mijat keypadnya untuk mengetik sebuah pesan.
"Sayang, sudah sampai mana?" yang kemudian aku send ke 12 digit nomor ponselmu.

Hufff.. aku tidak pernah merasa segugup ini. Ah, sudahlah!

Aku kembali berbalik dan mematung didepan cermin. Mengamati detail wajahku yang benar-benar terlihat berbeda. Bedak, lipgloss, maskara, eyeleaner, dan  eyeshadow yang berhasil aku curi dari kamar kakak sepupuku sudah menghiasi wajahku. Jujur, aku merasa geli dengan dandananku. Aku perempuan yang memang tak akrab dengan make-up. Terserah pendapat orang lain yang menganggapku kurang waras. Mungkin perempuan seusiaku seharusnya sudah cekatan memoles wajahnya. Tapi aku? ah! siapa peduli?

Aku pun melirik sinis ke arah meja yang berada disudut kamarku. Peralatan make-up terdampar tak beraturan. Mereka membaur dengan sobekan-sobekan tissue penuh noda bekas make-up ku tadi. Bahkan bedak yang semula padat terlihat remuk. Terbukti dari remukan-remukan yang sedikit tercecer dan menyembur keluar dari celah wadahnya. Aku hampir gila. Atau memang sudah gila karenanya. Dia sukses membuatku seperti ini.


"Astaghfirullah, Nduk? kamu sakit?", suara messo-sopran mengagetkanku. Dan pertanyaan macam apa itu? pertanyaan yang terlontar sepaket dengan mimik yang membuatku mengerutkan alis.


"Ahh, tante!", jawabku kesal. Dalam hati aku pun berteriak dan protes. Dengan penampilanku biasanya aku dianggap kurang waras dengan kodratku sebagai perempuan. Sedangkan sekarang? aku dianggap sakit? sakit jiwa maksudnya? entahlah! aku selalu heran dengan jalan pikiran mereka.


"Mau kemana emangnya, Nduk?", selidik tante. Tergambar jelas dari rautnya yang mencuriga.


"Mau ke stasiun Pasar Turi, njemput temen dari Jakarta", jawabku ketus. Memang sih, aku masih sedikit kesal.


Tante terbelalak dan spontan tertawa.
"Hahahahaaaa......teman apa teman, Nduk? kok ngunu paca'anmu?"


Sial! aku memang tak jago berakting. Sudahlah, aku tak punya banyak waktu buat ngeladenin ledekan tante.
Blackberry-ku bergetar. Pesan dari Rama.
"Aku sudah hampir sampai, Sayang". Dan entah ada apa lagi ini? tanganku mendingin dan detak jantungku mencepat. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Ternyata sudah setengah empat.


Dengan lincahnya, jemariku kembali menari diatas keypad. Searching speed dial taksi. Lalu aku mendekatkan Blackberry ke telingaku.
"Pak, taksi satu ke alamat Perumahan Bukit Karang blok K-10 Blauran, saiki!", kataku.
"Iya, Mbak. Tunggu yah", balasnya.


Tak harus menunggu lama, taksi sudah menjemputku diluar gerbang rumah. Aku bergegas mengambil tas dan memakai flat shoes. Rupanya rinai sudah terlebih dulu menjemputku.
"Tante, aku berangkat", teriakku sembari mencincing long dress dan berlari kecil keluar gerbang. Aku langsung memasuki taksi, tak ingin bajuku semakin basah.


"Selamat sore, Mbak. Mau kemana?, tanya sopir taksi dengan ramahnya.
"Stasiun Pasar Turi, Pak. Jalan pintas ya! biar cepet!", kataku sambil membalas sunggingan senyumnya.
"Siap, Mbak", jawabnya singkat.


Laju taksi ditemani rinai yang berlarian dan berlomba membasahi bumi. Mereka menggantikan penatnya matahari. Aku pun spontan tersenyum ketika melihat hidangan lingkaran-lingkaran kecil, banyak, bertumpuk, dan berwarna yang tertangkap dari balik kaca taksi. Hari ini hari yang sangat aku tunggu. Rama kekasihku yang tinggal diratusan kilometer ke arah barat dari kotaku, hari ini menemuiku. Berkunjung ke kotaku. Dia semakin dekat, Ya! aku merasakannya. Benar-benar semakin dekat. mungkin dalam hitungan menit, jemari kita sudah bisa berpeluk, tatapan mata kita sudah bisa bercumbu melepas rindu. Aku benar-benar merindukanmu, Ramadhan Arya!


"Sudah sampai, Mbak", suara sopir taksi menyadarkan lamunanku. Tak terasa sudah sekitar 15 menit aku duduk disini.
"Iya, Pak. ini uangnya, terima kasih", kataku.


Rinai masih menyelimuti Surabaya sore itu. Aku mengontraksikan dengan cepat kedua kakiku menuju loket.
"Kereta dari Jakarta tiba pukul berapa, Pak?", tanyaku kepada petugas stasiun.
"Mungkin sekitar 5 menit lagi, Mbak. silahkan tunggu disebelah sana!", tudingan tangan petugas itu memperjelas.


Deg! 5 menit lagi? Aku merasa semakin aneh. Tanganku lebih dingin dari yang tadi. Degup jantung seraya berorkestra, Dag dig dug. Begitulah simponinya.Tapi kali ini dengan speed maksimal. Aku benar-benar gugup.


Aku duduk dan bersandar dipunggung kursi panjang. Mencoba menenangkan gaduh riuh kerinduan yang sudah mendidih. Benar saja, dalam hitungan menit deru kereta terdengan samar kemudian menjelas. Menggelitik membran timfani dan mengimpulskan ke gendang telinga. Kepala ekor panjang itu sudah nampak. Aku spontan berdiri bebarengan dengan ekor panjang yang berhenti didepanku. Bola mataku menyelidik, mencari sosok yang aku nanti.


Diantara jejalan penumpang yang turun, terlihat lelaki berjaket cokelat masak dengan ransel bertengger dipunggungnya. Aku mengenalinya! Dia! Rama!
Semburat senyum kita bertemu terlebih dahulu sebelum jemari kita berpelukan. Kita bertatap. Tatapan yang mewakilkan ribuan kata yang berkoar-koar ingin terlontar.


"Hai!", sapaan yang terdengan bodoh sekali. Kaku. Aku salah tingkah.
"Kamu cantik sekali, Tsurayya", katanya lembut sambil tersenyum manis. Simpul senyumnya benar-benar manis. Dan baiklah! semakin sempurna! aku benar-benar salah tingkah.
"Eem.. eemm.. kita langsung ajah ke kost abangku yah! kamu udah keliatan capek," kataku terpatah-patah. Mendeskripsikan dengan jelas kalau aku memang gugup. Gugup sekali.
Rama hanya mengangguk mengisyaratkan bahwa dia menyetujiu saranku. Dan lagi-lagi dibarengi dengan senyum itu.


Sebelum beranjak, tatapan kita sejenak bertemu, bercumbu melepas rindu. Kemudian jemari kita pun saling berpelukan. Bahu kita berdampingan, begitu dekat. 
"Memang benar, cinta itu menyembuhkan. Menyembuhkan dari kesepian dan penantian. Terima kasih, Tuhan. Rencanamu lebih indah dari apa yang aku bayangkan", monologku dalam hati.





 dedicated for you, stay strong! :D

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aku Sakit Karenamu, Gigi

"Ambilkan sanggulku, Nduk!", seru suara messo-sopran itu padaku.

Seketika aku bangkit dari amben tempatku merebahkan tubuh mungilku. Kemudian beranjak dan mengambilkannya sanggul yang ada dilaci meja rias. Pemilik suara messo-sopran itu sedang memutar-mutar tubuhnya di depan kaca besar sembari merapikan bagian jaritnya yang masih terlihat sedikit berantakan.

"Ini sanggulnya", kataku singkat.
"Matur suwun, Nduk", jawabnya.

Dengan cekatan, jemari-jemarinya bermain dengan rambutnya . Tak harus menunggu lama, rambutnya pun sudah berbentuk gelungan. Kemudian dia memasangkan sanggul di gelungan rambut itu. Lengkap dengan kebaya kuning gading dan jarit batik kesayangannya, dia tampak begitu njawani. Ya! itulah busana sehari-harinya. Selalu mengenakan kebaya, benting, jarit, dan lengkap dengan sanggulnya.

Dia pun keluar kamar dan duduk dikursi goyang yang berada di balai tengah rumah kami. Gendhing jawa yang dia tembangkan sukses menggelitik gendang telingaku.

Bebasan koyo ngenteni udan ing mongso ketigo
Senadyan mung sedelo ora dadi opo penting iso ngademke ati
Semono ugo roso ning atiku
Mung tansah nunggu tekamu
Ra kroso setaun kowe ninggal aku
Kangen.. kangen ning atiku

Gending jawa terfavorit yang selalu dia tembangkan. Entah berapa kali aku mendengarnya dalam sehari. Sampai aku hafal lirik tembang itu. Dizamannya dulu, dia seorang sinden yang cukup terkenal. Terbukti dari lembaran-lembaran foto hitam putih yang tertata rapi didalam tumpukan album. Kini dia hanya pensiunan sinden yang menghabiskan masa tuanya dengan duduk dikursi goyang dan bercumbu dengan kenangan-kenangannya.Wajahnya pun tak secantik dulu, disela-sela keriput yang nampak di wajahnya terpapar mantera-mantera kehidupan sebagai bukti usianya tak muda lagi.

Aku pun duduk ditangan kursi goyang berukir dan memijat-mijat pundak wanita itu. Dia pun masih melafalkan tembang-tembang jawa dengan fasihnya. Suasana seperti itulah yang membuat aku merasa berada di gendre lama yang berkiblat kebudayaan Jawa yang sangat kental. Aku sangat menyukainya. 

Dimeja terhidang sepiring  jenang kudus dan telo goreng. Disebelahnya ada secangkir teh yang tinggal separuh. Hidangan itu setia menemani tembang jawa yang menjadi soundtrack sore berhias rintik kala itu.

"Lho iku jenang teko' sopho, Nduk?

"Oh iku soko rencange Ibu kolo wingi, terose rencange Ibu saking Kudus".

"Eyang ambilno sithok, Nduk! pengin nyicipi"

"Ojok Yang! nanti giginya sakit lho. Mana bisa juga makan jenang pake gigi palsu koyok ngono!"

"Ogak Nduk, sa'itik wae gak sakit gak"

Dan aku dekatkan piring itu ke Eyang. Eyang pun mengambil sepotong  jenang kudus dan langsung mengunyahnya.

"Gigiku!!!", teriak Eyang.

Aku spontan berteriak juga mendengar teriakan Eyang.

"Kenapa? eyang kenapa?"

"Gigi palsuku copot, Nduk. Aku sakit karenamu, gigi!", rintih Eyang sambil memegang pipi kanannya.

Kita berdua pun serentak tertawa. 


dedicated for my sweet grandma. i know you so well (:










  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Social Icons

twitter facebook

Social Icons

Featured Posts