Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Aku Sakit Karenamu, Gigi

"Ambilkan sanggulku, Nduk!", seru suara messo-sopran itu padaku.

Seketika aku bangkit dari amben tempatku merebahkan tubuh mungilku. Kemudian beranjak dan mengambilkannya sanggul yang ada dilaci meja rias. Pemilik suara messo-sopran itu sedang memutar-mutar tubuhnya di depan kaca besar sembari merapikan bagian jaritnya yang masih terlihat sedikit berantakan.

"Ini sanggulnya", kataku singkat.
"Matur suwun, Nduk", jawabnya.

Dengan cekatan, jemari-jemarinya bermain dengan rambutnya . Tak harus menunggu lama, rambutnya pun sudah berbentuk gelungan. Kemudian dia memasangkan sanggul di gelungan rambut itu. Lengkap dengan kebaya kuning gading dan jarit batik kesayangannya, dia tampak begitu njawani. Ya! itulah busana sehari-harinya. Selalu mengenakan kebaya, benting, jarit, dan lengkap dengan sanggulnya.

Dia pun keluar kamar dan duduk dikursi goyang yang berada di balai tengah rumah kami. Gendhing jawa yang dia tembangkan sukses menggelitik gendang telingaku.

Bebasan koyo ngenteni udan ing mongso ketigo
Senadyan mung sedelo ora dadi opo penting iso ngademke ati
Semono ugo roso ning atiku
Mung tansah nunggu tekamu
Ra kroso setaun kowe ninggal aku
Kangen.. kangen ning atiku

Gending jawa terfavorit yang selalu dia tembangkan. Entah berapa kali aku mendengarnya dalam sehari. Sampai aku hafal lirik tembang itu. Dizamannya dulu, dia seorang sinden yang cukup terkenal. Terbukti dari lembaran-lembaran foto hitam putih yang tertata rapi didalam tumpukan album. Kini dia hanya pensiunan sinden yang menghabiskan masa tuanya dengan duduk dikursi goyang dan bercumbu dengan kenangan-kenangannya.Wajahnya pun tak secantik dulu, disela-sela keriput yang nampak di wajahnya terpapar mantera-mantera kehidupan sebagai bukti usianya tak muda lagi.

Aku pun duduk ditangan kursi goyang berukir dan memijat-mijat pundak wanita itu. Dia pun masih melafalkan tembang-tembang jawa dengan fasihnya. Suasana seperti itulah yang membuat aku merasa berada di gendre lama yang berkiblat kebudayaan Jawa yang sangat kental. Aku sangat menyukainya. 

Dimeja terhidang sepiring  jenang kudus dan telo goreng. Disebelahnya ada secangkir teh yang tinggal separuh. Hidangan itu setia menemani tembang jawa yang menjadi soundtrack sore berhias rintik kala itu.

"Lho iku jenang teko' sopho, Nduk?

"Oh iku soko rencange Ibu kolo wingi, terose rencange Ibu saking Kudus".

"Eyang ambilno sithok, Nduk! pengin nyicipi"

"Ojok Yang! nanti giginya sakit lho. Mana bisa juga makan jenang pake gigi palsu koyok ngono!"

"Ogak Nduk, sa'itik wae gak sakit gak"

Dan aku dekatkan piring itu ke Eyang. Eyang pun mengambil sepotong  jenang kudus dan langsung mengunyahnya.

"Gigiku!!!", teriak Eyang.

Aku spontan berteriak juga mendengar teriakan Eyang.

"Kenapa? eyang kenapa?"

"Gigi palsuku copot, Nduk. Aku sakit karenamu, gigi!", rintih Eyang sambil memegang pipi kanannya.

Kita berdua pun serentak tertawa. 


dedicated for my sweet grandma. i know you so well (:










  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Posting Komentar

Social Icons

twitter facebook

Social Icons

Featured Posts