Tiba saat di mana saya menjadi
lebih sensitif. Memikirkan, memilah, dan mempertimbangkan banyak hal. Inilah
saat dimana saya harus menahan banyak hal demi hasil yang terbaik. Lebih
terbuka dan lebih banyak mendengarkan. Berusaha menyeimbangkan antara perasaan
dan kemampuan berpikir secara rasional. Ketika saya menginginkan sesuatu, saya
juga harus mempunyai kemampuan yang
seimbang untuk melepas apa yang saya inginkan, jika hal itu (menurut Allah)
bukan yang terbaik.
Tiba
saat di mana saya harus belajar menahan ego. Belajar mengendalikan emosi ketika
dihadapkan dengan perbedaan. Berusaha untuk selalu berpikir positif, dan
mencoba menjaga perasaan agar tetap sederhana. Inilah saat di mana saya harus
lebih mempersiapkan diri dalam segala hal.
Memutuskan
untuk menikah di usia muda bukanlah hal yang mudah. Sampai saat ini, saya pun masih dalam proses belajar memahami
niat, tujuan, dan keyakinan atas pernikahan itu berawal dan bermuara kepada apa
dan siapa. Menjadi seorang istri dan menjadi seorang ibu untuk anak-anak saya
kelak adalah hal yang tidak mudah. Dan saya benar-benar menyadari hal itu.
Terkadang, saya bermonolog pada diri saya sendiri; sudah siapkah?
Menikah
pun bukan hanya tentang saya dan dia, lalu sudah. Bukan. Menikah juga tentang
keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekat kami. Mereka mempunyai porsi
masing-masing dalam menyumbang doa dan mengaminkan kebahagiaan kami. Menyatukan
dua keluarga yang berbeda kultur, budaya dan kebiasaan memang bukan hal yang
mudah. Saling menjaga perasaan keluarga kami dan berhati-hati dalam menyiapkan
segala hal agar tidak terjadi kesalahpahaman juga bukan hal yang mudah. Saya
yakin, dia pun mengerti akan hal itu.
Pertemuan
kita beberapa bulan lalu, menyadarkan saya akan banyak hal. Bahwa terkadang bukan
masalah seberapa lama, tapi seberapa yakin. Akan tiba saat dimana segala sesuatu
kalah dengan sebuah keyakinan, begitu yang dia katakan kepada saya. Ketika dia
mengatakan bahwa ingin menjalin hubungan yang serius dengan saya, disaat itulah
saya memulai untuk berpikir dan mempertimbangkan banyak hal. Saya memilih
berjarak dengannya. Berjarak untuk benar-benar memastikan bahwa ini bukan
stranger attack, atau perasaan sesaat yang datang sekelebat. Saya pun ingin,
ketika kami saling jatuh cinta, kami jatuh cinta dengan kualitas.
Lalu saya
ingat perkataanya bahwa; terkadang bukan
masalah seberapa lama, tapi seberapa yakin. Dan ketika saat itu tiba, dimana
saya merasa yakin bahwa dia laki-laki yang baik. Ya, he’s a good man. Dia laki-laki
yang menjadikan saya tujuan, bukan pilihan. Dia laki-laki pertama yang datang
menemui orang tua dan keluarga besar saya, meyakinkan mereka bahwa dia mampu
menjaga dan memperlakukan saya dengan baik.
Hari-hari
setelah itu, kami mulai saling mengenal dan memahami lebih jauh. Bukan hanya
sekadar tentang hal yang kami suka dan tidak, tapi tentang banyak hal. Di proses
inilah kami harus saling terbuka dan belajar menyesuaikan diri. Memperbaiki diri
dan memperbaiki kualitas ibadah. Dan ketika nanti waktu itu tiba, dan memang
waktu itu adalah waktu untuk kami, kami sudah sama-sama siap dan pantas. Kami menyadari
bahwa perjalanan kami masih panjang. Tapi kami tetap bersyukur bahwa segala
sesuatunya selalu dimudahkan.
Setelah
ini, mungkin kami akan lebih banyak dihadapkan dengan perbedaan, masalah, dan
cobaan. Itu semua semata-mata hanyalah proses pendewasaan kami. Semoga kami
bisa melewatinya dengan baik dan menyelesaikannya dengan bijak. Tiga ratus enam
pulih lima hari dari sekarang adalah waktu kami untuk belajar. Dan akan tetap
sama-sama belajar dihari-hari kami setelahnya. Jatuh cintalah dengan kualitas. And then, marry well!
Dear you,
I do love you!
Tuban, 2 Januari 2015
0 comments:
Posting Komentar