Seminggu ini saya merasa bersalah ketika halaman
draft novel tidak bertambah. Stagnan di halaman 98. Sedangkan deadline tidak
bisa ditawar. Dan banyak deadline lain yang seolah menghantui saya untuk segera
diselesaikan. Seharusnya, sebuah deadline bisa memacu kreativitas saya untuk
terus berkarya. Bukan menjadi momok untuk mencari alasan-alasan absurd agar
bisa menghindari sebuah deadline. Entahlah. Mungkin saya sedang merasa jenuh
dengan rutinitas saya sehari-hari.
Jenuh? Sebuah kata yang (sebenarnya) saya benci.
Sebuah kejenuhan akan meracuni pikiran dan membuatnya semakin rumit untuk
melakukan sebuah pekerjaan—yang sebenarnya sederhana.. Seharusnya saya bisa
berkaca dari pengalaman-pengalaman saya ketika saya ‘pernah’ dikalahkan oleh
kejenuhan yang menyerang. Implikasinya? Saya merugi. Merugi karena menyiakan
waktu yang seharusnya bisa saya gunakan untuk berkarya.
Tapi entahlah. Setiap kali saya bermonolog dengan
diri saya sendiri, jawaban itu masih menjadi bayang-bayang. What’s wrong with
me?—i don’t know.
Mungkin saya hanya membutuhkan sedikit waktu untuk sekadar
diam dan menuruti keingingan-keinginan kecil yang lagi-lagi absurd.
Atau—mungkin—juga saya hanya membutuhkan sebuah dekapan orang tersayang untuk
(kembali) menguatkan dan menenangkan saya.
Yang pasti, sederetan deadline sudah menunggu saya
untuk segera diselesaikan. Dan seharusnya sudah tidak ada ruang untuk mengeluh
ketika tersadar begitu banyak kenikmatan yang sudah Allah berikan dan sudah
begitu banyak kebutuhan yang sudah Allah cukupkan.
Kejenuhan? Wajar terjadi pada setiap manusia. Jenuh
dengan rutinitas, misalnya. Seperti yang (mungkin) sedang saya rasakan
sekarang. Tapi yang terpenting adalah bagaimana cara kita mengatasi kejenuhan
itu dan kembali berjuang dan berusaha melakukan yang terbaik untuk setiap
amanah yang sudah Allah percayakan.
Bersyukur dan tersenyumlah.
0 comments:
Posting Komentar