Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Berburu Senja di Puncak Rinjani

Tulisan ini ditulis untuk #ProjectMenulis #KejutanSebelumRamadhan by @nulisbuku



Berburu Senja di Puncak Rinjani
Karya : Imroatul Azizah
Sebuah perjalanan itu merupakan proses menemukan. Menemukan tempat diluar sana yang bisa membuat kita berada seperti di rumah. Senyaman ketika kita berada di rumah. Sebuah perjalanan itu merupakan proses pendewasaan. Bagaimana kita menahan ego untuk menyesuaikan diri dengan orang dan lingkungan baru. Dan aku selalu suka perjalanan. Kabut mendominasi jingga senja di Desa Tetebatu. Sebuah desa di kaki gunung Rinjani, Lombok Timur. Sore yang dingin, seperti hatiku. Shawl abu-abu melingkar di leherku, sesekali ujung-ujung rambutku menari tersapu angin.
            Malam datang. Udara di Desa Tetebatu menjadi lebih dingin dari sore tadi. Ditambah hujan rintik-rintik yang turun membasahi punggung bumi. Sepertinya alam pun berkonspirasi untuk menghiburku di malam terakhirku di Desa Tetebatu. Sebuah tempat singgah yang akan menjadi rumah kedua yang selalu aku rindukan. Karena disini ada orang yang benar-benar aku sayangi. Ayah.
            “Jadi pulang besok pagi, Nak?”
            “Iya, Ayah”, jawabku singkat. Aku pun lanjut berkemas tanpa mempedulikan kehadiran ayah di kamarku.
            “Gak mau tinggal untuk beberapa hari lagi? Sampai awal Ramadhan mungkin? Biar ayah bisa menikmati awal bulan Ramadhan sama kamu. Ayah pasti kesepian kalau gak ada kamu. Kamu kan jarang-jarang nemui ayah kesini. Ayah masih kangen sama kamu, nak”, kata ayahku pelan. Aku menangkap kesedihan yang begitu mendalam dari setiap kata yang ayah sampaikan. Bukan berarti aku juga tidak mau menemani ayah lebih lama lagi, tapi, sudahlah.
            “Kenapa gak ayah saja yang tinggal sama kami di Jogja? Kalau ayah masih kangen sama aku, kenapa ayah lebih memilih tinggal bersama perempuan itu disini? Bukan denganku dan Ibu? Ayah pikir aku juga gak kangen sama ayah? Ayah pikir aku gak kangen menghabiskan Ramadhan bareng ayah?”, jawabku. Tak terasa airmata pun menetes. Inilah klimaks dari semua yang aku rasakan. Ayah hanya terdiam.
            Dialog kami menguap begitu saja. Tanpa pembelaan apapun dari ayah. Ah, biarlah. Selalu seperti itu.
***
            Sebuah pagi di Desa Tetebatu yang khidmat. Pagi yang menggantikan malam. Pagi yang membawa harap. Pagi yang (selalu) aku rindukan, pagiku dengan ayah.
            “Habiskan sarapanmu, nanti sebelum ke pelabuhan Lembar, kita jalan-jalan dulu di Mataram. Kapalnya kan berangkat siang, kita masih ada waktu tiga jam untuk sekadar berkililing Mataram dan membelikan Ibumu oleh-oleh”, kata ayah membuka dialog kita pagi ini. Sepertinya ayah tak menghiraukan kata-kataku semalam. Begitu mudahkah, ayah?
            “Terserah ayah saja”, jawabku singkat.
            Sarapanku tidak habis, teh hangatku tinggal separuh. Pernahkah kamu merasa tidak nafsu makan ketika merasa berat untuk berpisah dengan seseorang? Itulah yang aku rasakan sekarang. Berat berpisah dengan ayah. Tapi di sisi lain, aku benar-benar tidak suka dengan keadaan ini. Dimana keluargaku tidak seperti dulu lagi. Aku merindukan sesuatu yang disebut utuh.
            Pukul 07.00 WITA, kami bergegas menuju Mataram. Menempuh waktu kurang lebih satu setengah jam dari desa Tetebatu dengan mengendarai sepeda motor milik ayah. Sepanjang perjalanan, kami ditemani pemandangan hijau khas kaki gunung Rinjani. Jalan berkelok, langit biru muda lengkap dengan gumpalan awan putih bersih. Terlihat puncak Rinjani menyapa kami malu-malu. Di puncak itu, empat hari yang lalu aku sempat menikmati senja bersama ayah. Perjalanan berburu senja hanya berdua dengan ayah yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan. Lamunan-demi-lamunan berkecambuk di pikiranku. Kenangan-kenangan menyeruak dan seperti ingin mendesak keluar. Seolah ingin membantuku menyampaikan apa yang aku rasakan kepada ayah.
            Mataram. Sampailah kami di ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat. Kami berkeliling kota kecil ini. Mengamati keramaian di setiap sudut kota. Tujuan pertama kami adalah pusat oleh-oleh. Ayah membeli beberapa bungkus cemilan khas dan beberapa kain tenun khas daerah ini untuk dibawaku pulang ke Jogja. Sesekali aku masih sering merengek layaknya anak kecil ketika menunjuk sesuatu yang menarik perhatianku lalu meminta ayah untuk membelikannya untukku. Ayah, aku masih anak perempuan kesayanganku kan?
“Udah jam sebelas, Nak. Kita cari makan siang dulu ya. Sehabis makan siang nanti langsung ke Pelabuhan Lembar”, kata ayahku sehabis membayar semua belanjaan kami. Kemudian menggandeng tanganku menuju sepeda motor ayah yang terparkir tidak jauh dari toko. Aku pun mengiyakan ajakan ayah hanya dengan tersenyum. Tanpa berkata apa-apa.
Sekitar lima belas menit berkeliling mencari tempat makan, sampailah di sebuah tempat makan sederhana namun terlihat ramai akan pengunjung. Kata ayah, disini menyediakan berbagai makanan khas seperti plencing kangkung, ayam taliwang, dan sate bulayak yang paling enak. Ah, pantas saja tempat makan ini ramai sekali.
Kami mengambil tempat duduk di teras. Kursi kayu kecil yang hanya cukup untuk duduk dua orang. Pas, untuk aku dan ayah.
“Mau pesan apa, pak?” tanya seorang pramusaji.
“Ayam taliwang, plencing kangung, sama sate bulayak, masing-masing satu prosi. Minumnya es kelapa muda aja. Reina mau pesan apa?”, tanya ayah padaku.
“Ayam taliwang sama plencing kangung aja. Minumnya sama kayak ayah. Es kelapa muda”, jawabku.
Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mengamati keramaian tempat makan ini. Satu pertanyaan muncul dalam benakku, “Ayah, kapan kita terakhir makan bersama bersama Ibu?”
Kudapan lezat yang tadi kita pesan sudah datang. Saatnya makan siang yang mungkin masih kepagian. Kulirik jam tanganku yang melingkar ditangan, masih setengah sebelas. Makan siang kali ini terasa berbeda, aku mengobrol banyak dengan ayah. Tentang kuliahku, tentang lelaki yang sedang dekat denganku, dan tentang ibu. Dari obrolan kami, aku menyadari bahwa ayah benar-benar tidak berubah. Bahkan ayah masih ingat benar semua hal tentang aku
“Eh udah jam dua belas. Yuk kita shalat dhuhur dulu, kita cari masjid dekat-dekat sini aja. Habis itu baru ke pelabuhan Lembar”, kata ayah.
“Iya, yuk sekarang aja Ayah. Nanti kalau kelamaan takut ketinggalan kapal. Kapalnya berangkat jam satu siang loh”, jawabku.
Setelah shalat dhuhur di masjid yang tak jauh dari tempat makan tadi, kami langsung menuju pelabuhan Lembar. Sekitar tiga puluh menit dari kota Mataram. Sepeda motor ayah melaju dengan cepat, menerobos teriknnya matahari di kota Mataram.
Pelabuhan Lembar, 12.35 WITA. Kapal Ferry yang akan aku naiki menuju pelabuahn Padang Bai-Bali sudah menungguku di dermaga satu. Tidak terasa liburanku satu bulan di Lombok sudah usai. Liburan yang menyimpan banyak kenanganku dengan ayah. Liburan yang membangitkan kembali memori-memori kebersamaan keluarga kami. Ayah dan Ibu memang sudah berpisah. Dan ayah memilih tinggal di Desa Tetebatu bersama isteri barunya. Tapi, dia tetap ayahku. Sampai kapanpun.
“Jaga dirimu baik-baik, Nak. Ayah sayang sama kamu”, bisik ayah sambil memelukku. Sebuah pelukan yang aku rindukan.
Aku hanya tersenyum. Tanpa mengatakan satu kata pun kepada ayah. Tapi dalam hati aku berkata “Ayah, taukah kamu bahwa kebersamaan kita begitu menyenangkan? Ketika bangun pagi sudah disambut dengan senyummu, siang hari kita bermain layang-layang di halaman rumahmu, dan sebuah sore dengan perjalanan berburu senja di puncak Rinjani. Ayah, semua itu benar-benar menyenangkan. Ayah, aku juga menyayangimu. Sangat menyayangimu”
            Aku berjalan menuju memasuki kapal. Sesekali aku menoleh ke belakang. Melihat ayah yang tersenyum sambil melambaikan tangan. Aku pun membalas dengan melambaikan tangan dan melempar senyum kecil untuk ayah. Ayah, hatiku benar-benar sakit. Aku lemah. Ayah, aku ingin kita bersama lagi.
            Pelabuhan Padang Bai-Bali, 17.00 WITA. Senja di pelabuhan Padang Bai-Bali mengingatkanku di senja puncak Rinjani. Senja terindahku bersama ayah. Senja yang membawa harap. Harapku akan keutuhan keluarga kami. Harapku aku titipkan pada senja di puncak gunung Rinjani. Aku bergegas mencari taksi untuk menuju ke bandara Ngurah Rai. Perjalananku masih panjang untuk sampai ke Jogja.
***
            Yogyakarta. Satu hari sebelum Ramadhan. Aku dan ibu menyibukkan diri untuk beres-beres rumah. Menyambut Ramadhan dengan beres-beres rumah sepertinya kegiatan yang menarik. Kami menata ulang ruang tamu, mengganti gorden dan taplak meja dengan yang baru, menata rak buku, dan masih banyak lagi. Ibu sedang sibuk menata ruang tengah, membersihkan tumpukan debu dan mengelap kaca jendela. Sedangkan aku membersihkan kaca jendela teras. Tiba-tiba terlihat bayang sosok lelaki yang aku tangkap dari kaca jendela yang sedang aku bersihkan. Bayang sosok lelaki yang aku kenal. Lelaki yang selalu aku rindukan kedatangannnya untuk melengkapi keganjilan keluarga kami. Lelaki yang selalu aku rindukan kedatangannya untuk menjadi imam dikeluarga kami.
            “Ayaaaaaaaah”, teriakku sambil berlari memeluk ayah. Aku tidak bisa membohongi diri seolah aku tidak butuh ayah lagi. Aku membutuhkanmu ayah. Ibu membutuhkanmu. Kami membutuhkanmu. Airmataku tumpah di pelukan ayah.
            “Reina, siapa yang datang?”, tanya ibu yang baru keluar rumah. Ibu mematung. Seolah tak percaya dengan apa yang ada dihadapannya. Lelaki yang masing memenangkan hatinya, kembali. Kembali untuk tinggal, bukan untuk singgah.
            Ayah memutuskan untuk kembali dengan apa yang disebut keluarga. Keluarga yang benar-benar mengerti dia. Ternyata, perempuan yang (sempat) dipilih ayah bukanlah perempuan baik-baik yang bisa menjadi rumah bagi ayah. Beberapa waktu lalu, Allah menyadarkan ayah bahwa perempuan itu tidak pantas untuk menjadi alasan meninggalkanku dan Ibu.
            Kejutan sebelum Ramadhan terindah yang pernah aku dapatkan. Ayah kembali dari perjalanan dan menemukan (kembali) rumah yang sebenar-benarnya. Kami kembali utuh.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Posting Komentar

Social Icons

twitter facebook

Social Icons

Featured Posts