#ProjectMenulis #KejutanSebelumRamadhan by @nulisbuku.
Another duet story with @danissyamra.
Kadang,
ada beberapa harapan yang sulit untuk didapatkan. Bukan oleh kurangnya usaha,
atau lamanya waktu yang dinanti agar harapan itu menjadi sebuah hal yang nyata.
Hanya saja, kadang, memang Tuhan belum ingin mewujudkan harapan-harapan itu.
Sebagai seorang
perempuan dan istri, aku pernah–dan masih–berada di posisi terendah dalam hidup.
Dimana aku merasa menjadi orang yang paling bersalah, dan dipojokkan. Dimana aku
harus memilih antara menyudahi atau tetap bertahan pada sebuah harapan yang tak
kunjung nyata; memiliki anak.
Bukankah
kebahagiaan hakiki bagi seorang perempuan dan seorang istri adalah bisa menjadi
seorang ibu bagi anak-anaknya? Buah hati yang selalu dirindukan kehadirannya
oleh suamiku untuk meramaikan rumah kecil kami. Cucu-cucu lucu yang selalu
dirindukan kehadirannya oleh kedua orang tua dan mertuaku. Tapi sampai saat ini
aku belum bisa menyempurnakan kebahagiaan mereka. Bagaimana bisa aku tidak
merasa menjadi orang yang paling bersalah?
Satu
dekade usia pernikahan kami. Tapi kami belum juga dikaruniai seorang anak.
Perjalanan kami sempat bergejolak. Bahkan saling meragu untuk tetap bertahan
pun pernah. Aku pun pernah menggugat cerai suamiku, walau dia menolak dan
akhirnya aku meminta maaf atas keputusan yang gegabah itu. Aku meminta cerai bukan
karena aku tidak lagi mencintai suamiku, tapi karena aku merasa dia berhak
mendapat pasangan hidup yang bisa memberinya keturunan.
Pernah di suatu hari,
ketika pernikahan kami sudah berjalan hampir lima tahun, aku dan suami
memeriksakan diri ke rumah sakit. Disana, aku mendapati sebuah kenyataan yang
tidak pernah aku ingin dengar.
“Berdasarkan hasil
pemeriksaan, Ibu, mengidap penyakit Endometriosis. Dan penyakit ini menyebabkan
terhalangnya sel telur menuju rahim. Hal menyebabkan sampai saat ini Ibu belum
bisa memiliki anak. Ibu bukannya tidak bisa memiliki anak. Hanya saja, itu akan
menjadi hal yang sulit. Berdo’a kepada Yang Maha Kuasa, siapa tau ada
keajabaian ” ucap dokter saat itu kepadaku.
Sekujur
tubuhku kaku saat mendengar vonis itu. Tapi bukankah Allah sudah menggariskan
kehidupan kita di Lauhul Mahfudz? Dan
bukankah tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak? Disinilah
kesabaran kami sebagai pasangan suami istri benar-benar diuji.
Sabar adalah salah satu kekayaan dari kekayaan yang baik.
Allah tidak memberikan kecuali kepada hamba-Nya yang mulia di sisi-Nya
(Al-Hasan Al-Bashri)
Beruntunglah
aku mempunyai suami yang sudah tertata hatinya bahwa garis hidup sudah
ditakdirkan Allah, senantiasa menguatkanku saat aku lemah dan menjadi
sandaranku saat aku rapuh. Suami yang mengajarkanku akan keagungan kuasa Allah
atas segala hal di hidup kita. Karenanya, aku mampu bertahan selama ini: satu
dekade.
Aku
percaya, harapan itu masih ada. Walau serupa kembang yang layu dan hamper mati.
Walau saat ini keinginan memiliki anak sudah hampir hilang dalam benakku,
kadang, sesekali aku masih mencoba testpack
setiap kali sesudah bercinta dengan suamiku.
***
“Nanti
siang kita makan bareng ya, Nia. Selesai meeting,
aku jemput kamu di butik,” ujar Raga, suamiku. Dia duduk di ruang tamu, sedang
memakai kaos kaki dan sepatu kantornya.
“Tapi
nanti siang aku harus re-stock barang-barang di butik, soalnya stock di butik udah banyak yang abis.
Sebentar lagi mau masuk Ramadhan, jadi aku harus re-stock secepatnya,” jawabku
sambil merapikan meja makan sisa sarapan tadi.
“Re-stock bukannya bisa diwakilin pegawaimu, Sayang? Ada
hal yang pengin aku omongin juga ke kamu waktu kita makan siang nanti,” ucap
Raga kembali menimpali.
“Tapi
kan ini juga udah akhir bulan, aku juga harus check keuangan butik bulan ini, Sayang. Ada beberapa hal yang harus
aku sendiri lakukan di butik. Lagipula kalau ada yang mau diomongin kenapa gak
diomongin di rumah aja?”
“Luangin
waktu satu jam masa gak bisa sih? Aku nanti malem lembur, mungkin baru sampai
rumah malem banget. Please, usahain
yah!” bujuknya. Sepertinya ada hal yang penting untuk dibicarakan. Entahlah.
“Em,
iya iya. Tapi jam 12 tepat. Gak kurang gak lebih,” jawabku kepadanya yang
berdiri dihadapanku seraya merapikan dasi dan kerah kemeja kantornya.
“Siap,
Isteriku yang paling cantik, aku berangkat ke kantor dulu ya,” ucapnya dengan
seringai kecil yang sering membuatku gemas untuk mecubitnya, dan kemudian dia
merapatkan dirinya ke arahku, seketika, sebuah ciuman lembut mendarat di keningku.
“Hati-hati
di jalan, Sayang.” Aku mencium lembut punggung tangannya–kebiasaanku setiap
Raga berangkat kerja.
***
-Najma
Boutique, 11.45 WIB
“Tari, tolong pasang long-dress ini di mannequin ya! Eh Shela, tolongin mbak ya buat check pashminanya, kira-kira kita butuh re-stock berapa pieces
lagi. Lala mana Lala? Mbak mau liat laporan keuangan bulan ini biar sekalian
mbak check juga. Dan Shela juga
jangan lupa check lagi list kebutuhan re-stock kita, mbak pengin semua barang udah fix sebelum Ramadhan,” ucapku kepada pegawai butik. Saat ini butik
sedang sibuk dengan segala persiapan menjelang Ramadhan. Maklum aja, dalam
hitungan hari Ramadhan sudah tiba. Pastinya
akan banyak custumer yang hunting perlengkapan muslimah mulai dari
hijab, mukena, baju-baju gamis dan lainnya.
Tidak
terasa sudah masuk jam makan siang. Sebentar
lagi Raga akan datang menjemput untuk makan siang bersama. Dan benar saja, tak
harus menunggu lama, Raga sudah berada di butik. Menyapaku dengan senyuman dan
ciuman lembut di kening.
“Udah
beres semua urusanmu hari ini? Yuk langsung berangkat aja. Aku udah laper nih.”
“Alhamdulillah
udah, Sayang. Yuk berangkat sekarang ajah,” kataku sambil menggandeng tangan
suamiku dan meninggalkan butik kami. Bergegas menuju tempat favorit kami, Kelana’s Café.
***
“Kok kita kesini,
Sayang? Aku nggak sakit. Cuma mual-mual aja kok. Mungkin cuma nggak enak badan
biasa. Nggak perlu kesini kayaknya,” ujarku kepada Raga saat mobil baru saja
berhenti. Raga hanya diam, seolah tak mendengar pertanyaanku. Kulihat dia
segera mematikan mesin, lalu keluar dan memutar; membukakan pintu untukku.
Dia tersenyum. Dari pandang
matanya, terpancar ekspresi bahagia. Aku bertanya-tanya, apa yang terjadi.
Entah kenapa aku merasa ikut bahagia melihat binar mata Raga. “Kamu akan
terkejut mendengarnya,” ucap Raga seraya menarikku keluar mobil dan masuk ke
dalam rumah sakit yang memvonis penyakitku, lima tahun yang lalu.
Saat ini kami sudah
berada di ruangan yang sama dengan dokter yang sama yang memeriksaku lima tahun
yang lalu. Dulu, kami datang pertama kali, raut wajah dokter itu muram karena
akan memberi-tahukan kabar tidak menyenangkan. Namun, kini, raut wajah dokter
itu tersenyum senang saat melihatku masuk.
“Silahkan duduk,”
ucap dokter itu ramah. “Ibu Nia? Kapan terakhir kali Anda menstruasi?” tanya
dokter itu tiba-tiba.
“Eh?” Hanya kata itu
yang terlontar dari mulutku. Aku mengingat kembali, terakhir kali aku haid
adalah hampir lima bulan yang lalu. Entah kenapa, aku baru menyadarinya
sekarang.
“Selamat, akhirnya
Ibu bisa hamil. Saat ini Anda sedang mengandung bayi,” ucap dokter tersebut
kepadaku. “Beberapa hari yang lalu Bapak Raga kesini dan memberikan testpack yang terakhir kali Ibu gunakan
untuk diperiksa di laboratorium.”
Aku mengatup mulutku
tidak percaya saat mendengar kata-kata dokter. Lima bulan telat haid, mual-mual
yang kualami belakangan ini, dan testpack yang aku gunakan seminggu yang lalu
tapi tidak pernah kulihat hasilnya. Hal tersebut seperti menjadi
potongan-potongan puzzle yang akhirnya membentuk susunan kalimat: Allau Akbar!
Airmata menetes
seketika membasahi pipiku. Akhirnya, setelah satu dekade, harapan itu terjawab.
Raga memelukku erat saat aku menumpahkan emosiku di dadanya.
0 comments:
Posting Komentar