Biru. Pagi yang biru.
Akhir-akhir
ini selalu tidak suka dengan suasana pagi hari. Ketika bangun, selalu dijemput pagi yang penuh bayang-bayang,
pagi yang biru. Lengkap dengan perasaan yang tidak mengenakkan, seperti ada
yang hilang, ya aku tau memang ada yang hilang, tapi aku tidak bisa lebih dari
sekadar diam dan menerima.
Biru. Pagi yang biru.
Beda
dengan pagi-pagi sebelumnya. Suasana pagi yang selalu aku rindukan. Ketika bisa
menghirup aroma pagi dalam-dalam dan membuat senyum seketika mengembang. Ketika disuguhi bau rumput yang basah dibasuh embun dan lapang
langit yang sudah mulai memamerkan warna.
Biru.
Pagi yang biru.
Beberapa
hari lalu, pagiku masih baik-baik saja. Dia masih bertukar cerita kepada
teman-temannya. Bertukar cerita kepada senja sore hari tentang orang-orang
yang selalu terburu-buru di pagi hari,
dan tentu saja tentang tepian daun yang sedang patah hati karena ditinggalkan
embun. Pagi pun bercerita kepada malam yang penuh gemintang, bercerita apa
saja, (lagi-lagi) termasuk tentang tepian daun yang sedang patah hati karena
ditinggalkan embun. Ya, tepian daun sedang patah hati. Embun yang ia cintai
pergi meninggalkannya. Bukan, bukan karena embun tak mencintai tepian daun,
tapi karena embun yang bersifat sementara. Datang, lalu dia akan jatuh perlahan
ke tanah, kemudian menghilang.
Biru.
Pagi yang biru.
Tapi
akhir-akhir ini, pagi tidak seceria biasanya. Dia lebih memilih sekadar menjadi
penonton, tanpa berkomentar apapun. Penonton kisah patah hati tepian daun dan
embun, kisah senja sore hari yang ternyata diam-diam jatuh cinta kepada malam yang penuh
gemintang, dan kisah-kisah lainnya yang enggan dia hiraukan.
Biru.
Pagi yang biru.
Lalu,
ada apa dengan pagiku? Apakah dia pun sedang patah hati seperti tepian daun?
Atau sekadar lelah dengan hiruk-pikuk yang selalu datang? Entahlah.
Biru.
Pagi yang biru.
Hari
ini, pagi seperti enggan menyapa bumi dengan roman fajar keemasannya. Dia
datang dengan rombongan awan abu-abu. Mendung. Aku tidak suka pagi ini.
Biru.
Pagi yang biru.
Ah,
hari ini aku mendapat kabar dari angin. Angin si pembawa kabar. Angin yang
selalu datang dan pergi sesuka hati, yang bertugas untuk membawa kabar. Tak
peduli kabar baik atau buruk, karena dia hanya ‘pembawa kabar’. Dan aku pun tau
kabar dari angin tentang pagi hari. Aku terkejut ketika tau alasan pagi yang
seolah enggan tersenyum ramah kepada
bumi, ternyata pagi pun sedang patah hati. Dia patah hati kepada senja sore
hari. Ya, ternyata selama ini, pagi pun diam-diam mencintai senja sore hari.
Biru.
Pagi yang biru.
Tapi
pagi pun tersadar bahwa senja sore hari hanya sementara, rona merah yang selalu
menghiasi senja pun bersifat sementara. Senja sudah terlebih dulu jatuh cinta dengan malam yang
penuh gemintang. Senja selalu menghilang ketika malam penuh gemintang itu datang.
picture by Noor Fatia
(cerita ini terinspirasi dari novel Milana karya Bernard Batubara)
Tuban, 18September 2013
0 comments:
Posting Komentar